Meunasah Warung Kopi
Helmi Abu Bakar El-Langkawi |
SALAH satu pusat pendidikan yang tertua di Aceh selain dayah adalah meunasah. Para sejarawan telah mengkaji asal mula dan perkembangan meunasah dan asimulasinya dalam kehidupan masyarakat Aceh secara luas.
Semenjak dulu setiap gampong di Aceh dibangun meunasah yang berfungsi sebagai center of culture (pusat kebudayaan) dan center of education (pusat pendidikan) bagi masyarakat.
Dikatakan center of culture, karena meunasah ini memang memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh dan disebutkan center of education, karena secara formal generasi pemula (aneuk miet) masyarakat Aceh memulai pendidikannya di lembaga ini.
Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan yang berintikan agama Islam. Meunasah, ada yang menyebut meulasah, beunasah, beulasah, seperti dikenal oleh kelompok etnis Aceh. Juga dikenal dengan manasah atau balai, seperti kata orang Aneuk Jameë, dan meurasah (menurut pemukiman etnis Gayo, Alas, dan Kluet).
Meunasah merupakan istilah yang asli dari Aceh dan telah lama dikenal di Aceh, tetapi sejak kapan ditemukan belum begitu jelas secara historis.
Menurut beberapa ahli pengamat Aceh berasal dari kata madrasah (bahasa Arab) kemudian menjadi meunasah karena masalah dialek orang Aceh yang sulit menyatakan madrasah. Seperti juga kata dayah yang sebenarnya berasal dari bahasa Arab zawiyah.(Muslim A. Jalil, 2011)
Di samping meunasah, di kalangan masyarakat Aceh, ada sebuah elemen penting lain yang tidak dapat dipisahkan dalam percaturan kehidupan masyrakat Aceh yakni Waroeng Kupie (Warung Kopi).
Menurut sebagian besar catatan sejarah, Indonesia merupakan negeri pertama di luar Arab dan Afrika yang membudidayakan kopi secara sukses. Sebagian catatan lain menyebutkan bahwa di Eropa sudah ada sebelum kopi dibudidayakan di Indonesia.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sejarawan, tradisi minum kopi sudah cukup tua di Indonesia termasuk Aceh, terutama di kawasan Asia.
Kopi dihadirkan pertama kali ke khalayak publik sebagai jasa warung kopi, atau disebut kiva han atau ada juga yang menyebut qahveh khaneh (artinya pencegah kantuk), adalah di Konstatinopel (Istambul) Turki pada tahun 1475.
Waktu itu hanya ada satu warung kopi. Tujuh puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 1554 dua warung kopi dibuka lagi di Istambul. Di Turki kala itu warung kopi dikenal juga dengan sebutan ”school of wise”.
Seiring semakin kuatnya kesultanan Ottoman di Turki melalui penaklukkan kerajaan-kerajaan di wilayah mediteranian, maka dari Turki kopi merambah masuk ke kota Venice (Italia) sekitar tahun 1615.
Catatan sejarah lainnya menunjukkan bahwa di awal-awal abad XVI itu warung kopi pertama di buka di London. Pada awal abad XVII warung kopi yang kemudian sangat kesohor Edward Lloyd’s Coffee dibuka di kota yang sama.
Dari Inggris kopi dibawa ke ”dunia Baru” (Amerika) pada abad XVI.Kopi begitu pesat berkembang sehingga di London pada akhir abad ke-XVII tercatat sudah 300 warung kopi beroperasi. Dari Inggris kopi masuk ke Belanda, dan cafe kopi persia dibuka pertama kali di negara initahun 1713.
Belanda kemudian menyebarkan kopi ke India dan Indonesia sekitar pertengahan abad XVII. Begitulah sekilas perkembangan minum kopi di warung kopi, yang disinyalir sebagai ”The Most Consumed Baverage In The Planet”. (Emilianus Elip, 2010)
Meunasah dan juga warung kopi merupakan dua pranata sosial dalam masyarakat Aceh yang sulit dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi bagian dari identitas masyarakat Aceh itu sendiri.
Keberadaan kedua pranata sosial ini menyebar di seluruh pelosok Aceh dan memiliki kesamaan fungsi untuk kegiatan sosialisasi dan interaksi di antara anggota masyarakat.
Jika kehadiran meunasah ditengarai hadir saat penyebaran Islam, maka warung kopi atau kedai kopi sulit ditelusuri sejarahnya. Namun kedai kopi diperkirakan muncul usai era penjajahan Belanda, yang memungkinkan masyarakat leluasa bersosialisasi dan berkumpul.
Dalam mengimplementasikan syarita islam saat ini, seharusnya dengan banyaknya warung kopi menjadi sebagai sarana lebih mudah dalam mengimplementasikannilai-nilai syariat islam itu sendiri di negeri tercinta ini.
Realita yang kontras di masyarakat, jamaah majlis ta’lim yang hadir ditengah masyrakat dibandingkan dengan jamaaah warong kopi sangat jauh perbedaannya. Dewasa ini juga orang untuk ke majlis ta’lim semangatnya sangat kurang dengan pergi warong kopi.
“Jamaah” warkop rela duduk dengan secangkir kopi sampai subuh. Namun jamaah majlis taklim jangankan untuk duduk dengan durasi yang lama, kemauan dan keterlibatan di dalamnya berbalik hamper seratus delapan puluh derajat, belum lagi sang Teungku atau ustaz yang mengajarinya jam terbangnya masih rendah dan berbagai problema lainnya.
Saya melihat kehadiran “Warkop” (warung kopi) terlepas dengan berbagai kepentingan, setidaknya tugas dan kewajiban dalam mensyiarkan dakwah lebih terbuka, sebab objek dakwah sebagai “majlis warung kopi” telah ada, tinggal bagaimana menjadikan warung kopi itu sebagai meunasah tempat mempelajari dan mendakwahkan ilmu agama kepada masyarakat.
Masyarakat dakwah tidak boleh membiarkan dan melupakan warung kopi sebagai komponen dakwah sebagai mad’u (obyek) dakwah dalam meumenasahkan warong kopi.
Warung kopi harus dijadikan sebagai target dan lahan yang subur dalam islamisasi dakwah di Aceh.
Memeunasahkan warung kopi dengan “jamaahnya” merupakan pekerjaan yang berat dan penuh tantangan besar yang akan dihadapi insan dakwah khususnya di Aceh. Di sana pekerja dakwah mendorong “jamaahnya” untuk beramar makruf nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran).
Dengan demikian berbagai elemen dan komunitas dalam masyarakat menjadi sebagai lading untuk berdakwah tanpa terabaikan begitu saja. Pekerja dakwah di samping mendapat pahala yang besar juga sebagai umat terbaik dan telah menolong saudara lain dalam kebaikan, sebagai mana firman Allah dalam Al-quran:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". (QS. Ali Imran:110).
Allah juga menyuruh kita untuk saling menolong dalam kebaikan sebgai mana firmannya: ”Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras dalam hukuman-Nya.”. (QS. Al-Maidah: 2)
Manajemen dakwah “Meunasah Warkop” bukan berarti menghilangkan fungsi komersial warung kopi (warkop) dan menjadikannya laksana dayah, masjid atau majlis taklim Warkop tetap dipertahankan fungsinya sebagai komunitas konsumtif dan rekretarif, tetapi di sana kita sisipkan nilai berbasis syariat Islam namun bagaimana aktivitas dakwah menjadikan warkop mampu mengajak “jama’ahnya” untuk beramar makruf nahi mungkar walaupun dalam ruang lingkup yang kecil.
Di Meunasah Warkop para “jamaahnya” dari berbagai elemen masyrakat diusahakan untuk merealisasikan nilai-nilai islami yang hidup dalam masyarakat Aceh dimulai dengan hal yang kecil seperti membuang sampah pada tempatnya dan lainnya.
Dalam meunasah Warkop, manajemen dakwahnya harus pula dilakukan sesuai dengan karakteristik warkop yang spesifik. Beranjak dari itu insan dakwah harus pula merumuskan metodelogi dan konsep dakwah yang efektif dan inovasif, setidaknya pesan dakwahnya harus ditekankan pada penciptaan suasana yang islami sesuai dengan syariat dibandingkan penyampaian pesan-pesan Islam.
Bentuk dakwahnya bersifat tidak menggurui namun suasananya ditekankan lebih pada menciptakan ikim yang ramah dan tidak kaku.
Diantara komunikasi dakwah di Meunasah Warkop, ketika azan berkumandang setidaknya dihentikan aktifitasnya dan diajak “jamaah” dengan pendekatan dakwah haliah (dakwah perbuatan) dimana para pengelola dan stafnya menjalankan shalat secara berjamaah, pasti dengan sendirinya para pengunjungnya akan terbangkit dan terbuka mata hati juga untuk melakukannya walaupun hanya dalam qalbu, membatasi konten yang bersifat pornografi lewat internet,judi online dan sejenisnya.
Di samping itu juga menyebarkan bulletin, poster yang dipampang dengan nilai renungan dan dakwah serta majalah Islami dan seumpamanya, disamping itu musik dan filmnya lebih bernafaskan islam.
Pengajian yang diadakan dalam bentuk diskusi dan Tanya jawab minimal seminggu sekali juga perlu digelar untuk menambah wawasan dan pengetahuan dengan mendatangkan narasumber dari berbagai lembaga pendidikan agama di Aceh, baik dari kalangan dayah, kampus maupun ormas islam lainnya.
Komunikasi dakwah dalam bentuk stiker dan poster serta tulisan yang ditempelkan di dinding dengan menyampaikan pesan dakwah yang bersahabat serta berbagai inovasi lainnya untuk menambah nilai dakwah dalam mengimplementasi syariat Islam di “Meunasah Warung Kopi” di bumi Serambi Mekkah ini.
Namun bukan hanya di warung kopi saja tetapi angin dakwah itu harus juga bisa dirasakan seperti di tempat rekreasi, hotel dan tempat umum lainnya tentu saja dengan kemasan manajemen yang inovatif juga bisa diterapkan di tempat umum dan keramaian lainnya. [ Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Pengajar di dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga,Bireuen ]
Sumber: http://aceh.tribunnews.com